Rabu, 26 Maret 2008

Tentang Wangi

Huuumm.... 'baunya enak yha'
kata2 'bau' sebenarnya memilik dua kandungan arti. Bisa jadi yg dimaksudkan adalah bau tak enak ataupun bau sedap atau katakanlah, wangi. Tinggal melihat penempatan kata 'bau' itu sendiri. Beralih ke kata2 'wangi'. Klo kita bilang 'wangi' pasti yang terlintas tuh bau yang enak2. Entah itu bau wangi masakan atau meski yang terlintas adalah wangi bunga. Tapi seringnya sih, wangi itu identik dengan aroma sedap yang keluar dari bunga, semuaaa bunga, bunga apa aja. Benarkah semua aroma yang keluar dari bunga itu disebut 'wangi'? dan apakah wangi selalu menggambarkan aroma sedap? lalu, bagaimana nasib si Bunga Bangkai yah? tetapkah disebut 'wangi' atas aroma yang keluar dari sang Bunga? tetapkah dianggap sebagai sebuah keharuman?
Pun begitu atas semua wangi yang tercipta. Apapun bentuknya, wangi tetaplah wangi. Layaknya tiap2 hati yang selalu punya caranya sendiri2 untuk bersinar, pun wangi selalu punya caranya sendiri untuk merebak...
Aku memang sebelumnya nggak pernah tau, betapa Allah begitu peduli padaku. Sampai IA menyampaikannya lewat orang-orang tak dikenal, yang ternyata peduli atasku. Terimakasih Allah, terimakasih untuk mereka yang menyebar wanginya lewat aroma berbeda... :)

Senin, 10 Maret 2008

Bincang Bulan

"Laila? apa kabar hari ini?" suara yang begitu kukenal menyapa dari belakang punggungku. Sebenarnya pemandangan didepanku mencegahku berpaling. Namun aku tak mau menuruti egoku dengan mengacuhkan seseorang yang telah sudi menyapaku.
Aku pun membalikan badanku dan menjawab sapanya, "Hei... apa kabar? iya, alhamdulillah aku baik-baik saja" kataku sembari melontarkan pertanyaan yang sama untuknya yang ternyata hanya terjawab oleh sebentuk senyum. Beberapa jenak mata kami yang berinteraksi. Namun dari yang sebentar itu aku bisa memahami bahwa tampaknya dia tidak mengenalku.
"Maaf, apakah kita saling kenal?"tanyaku
"Eh? tentu saja aku mengenalmu" jawabnya yakin. Dan itu juga meyakinkanku bahwa dia tidak mengenaliku. Yah, dia tidak benar-benar mengenaliku kali ini.
Pertemuan kali ini bukanlah kali pertama. Pun tentunya, ini bukan pertemuan privaci hanya antara aku dan dia karena memang tidak ada kepastian yang terjalin antara kami berdua. Bagiku, hanya disaa-saat berkumpul untuk kepentingan bersama seperti inilah yang kunikmati sebagai kesempatan untuk bertemu dengannya. Dan sebagai perempuan, aku bisa merasakan bahwa dia juga memanfaatkan momen yang sama sepertiku. Atau, sebenarnya aku yang agak sok tahu?
Berlalunya perbincangan, obrolan dari mulai yang serius sampai pada majlis yang hanya dipenuhi gelak tawa, tak juga membuatnya mampu mengenaliku dengan baik. Bahwa yang saat ini duduk bersandar pada tembok yang terasa dingin saat musim panas dimulai ini adalah bukan aku. Sebenarnya aku ingin sekali memberi tahunya bahwa yang didepannya saat ini bukanlah aku. Aku ingin dia yang membawaku kembali pada "aku". Namun suara lain dalam otakku membisikiku untuk diam saja dan menunggu. Berharap, dia akan menyadari ketidak-beradaanku dan kemudian membawa "aku" yang lalu, untuk kembali padaku. Bodohnya, aku begitu mempercayai otakku dan toh hingga ahir pertemuan dia masih saja tidak mengenali, bahwa aku kali ini bukanlah aku. Cuaca diluar ternyata tak seperti dugaanku waktu pertama keluar dari rumahku tadi. Angin yang berbondong-bondong keluar dimalam hari, mencipta dingin dalam kebisuan lisanku.
"Cie... yang lagi mesra..." ledek mereka yang sok mengenal kami. Mereka yang meninggalkan kami berdua saja. Pun begitu, ia tetap tak mengenaliku, bahwa aku bukanlah aku. Sepiku atas hatiku dibumbui oleh ricauan malam dengan gemuruh anginnya.
"Wahai yang mengingkari dirinya, kamu kenapa?" Tiba-tiba Bulan menyapaku
"Er.. maksudmu?" kataku heran pada Bulan yang tiba-tiba berada tepat disampingku, entah sejak kapan. Terlebih, karena sapaannya barusan. Biasanya dia langsung memanggil namaku.
Bulan kemudian tersenyum, "Semua orang boleh tak mengenalimu. Tapi mencoba membohongiku? ckckckck..." katanya sambil menggoyangkan jari telunjuknya padaku didepan wajahnya yang indah.
Aku sudah mencapai halte bus dan Bulan masih saja bersamaku. Aku sebenarnya tidak tahu topik apa yang harusnya aku bicarakan. Meski hati mendesakku untuk bercerita banyak hal pada Bulan, tapi mulutku bungkam saja. Agak lama aku menunggu bus yang akan membawaku kembali kerumahku. Namun terkaget saat memperhatikan Bulan yang tiba-tiba menghilang. Sejenak muncul, namun kemudian meredup kembali. Heranku memancingku untuk memastikan keberadaanya.
"Bulan..." panggilku.
"Ya" jawabnya setelah benar-benar menampakkan cahayanya. Sepertiku, malam ini Bulan seakan-akan bukan seperti Bulan yang kukenal. Tapi yang aku tahu, Bulan tetap bisa menjadi dirinya sendiri. Dan itu tidak terjadi padaku. Bulan tiba-tiba kembali menghilang. Entah tertutup awan, entah gerhana.
"Bulan..." panggilku lagi memastikan.
Bus yang kutunggu tiba-tiba datang. Aku menoleh pada Bulan hendak berpamitan. Namun Sang waktu menarik tanganku untuk masuk kedalam bus dan mengacuhkan Bulan. Sepanjang perjalanan, aku terus melirik langit dan menanyakan keberadaan Bulan. Apakah ia sekedar tertutup awan atau benar-benar gerhana? gurat kekecewaan yang terlukis oleh langit atas sikapku yang meninggalkan Bulan begitu saja, menjadi jawaban. Aku semakin kecewa pada diriku sendiri. Ternyata, keahlianku untuk menyakiti tak hanya mampu melukai manusia saja. Bahkan Bulan sekalipun terluka olehku.
Benar saja, saat turun dari bus, tak tampak lagi olehku keberadaan Bulan. Bahkan saat aku melongok kearah bangunan-bangunan menjulang penuh jendela diseberang sana, tetap saja tak kulihat keberadaan Bulan. Aku semakin bersalah pada Bulan.
"Bulan, apakah kau sedang tertutup awan atau benar-benar gerhana?"