Rabu, 24 Desember 2008

ConspiratioN


Angin yang berhembus mendesah sepi. Hanya dingin yang menyambut. Sebagian besar penduduk memilih bersembunyi dibalik dinding mereka. Menghindari ngilu yang menyergap pada tiap pori-pori. Tiada keramahan dimalam hari musim dingin. Tidak. Meski kau memilih memakai selimut awan bermerek sekalipun, angin tak berbentuk itu akan meliuk menelusuri celah, berpura-pura membelai kulitmu, kemudian pelan-pelan menikam tulangmu dan menggerogotinya secara perlahan.


"Apa kita tidak bisa memilih tempat yang lebih hangat untuk bermusyawarah?", protes seorang anggota majlis

"Lupa kamu, kalau dingin sudah tidak lagi mampu mengganggu rapat penting ini", gertak yang lain

"Sepenting itukah?"

"Menurutmu kenapa kau jauh-jauh diundang kesini? Dan kenapa juga mereka rela jauh-jauh datang kesini," ujung jarinya menunjuk berkeliling, ke sebuah barisan mahluk sesamanya yang terbang mengambang, melayang membentuk sebuah barisan-barisan perang melingkar, dan para pembesar mereka berkumpul ditengah-tengah.

"Siapa target kita sekarang?" seperti tanpa ragu akan kekuatan sang musuh, seorang pembesar dengan ekor merahnya yang dikibas-kibaskan, bertanya sambil memasang wajah serius.

Pemimpin para pembesar itu menyebutkan sebuah nama, disusul gidikan ngeri segenap anggota majelis. Tapi tidak oleh barisan perang tadi. Mereka riuh dengan suara mereka sendiri yang jumlahnya ribuan itu. Mana bisa mereka mendengar suara para pembesar mereka yang berjarak beberapa meter ditengah sana. Dan mereka hanya tinggal menunggu waktu untuk mengetahui siapa target mereka saat ini hingga harus mendatangkan sekian tentara pilihan dari bangsa mereka.

"Kamu yakin kita akan bisa melakukan misi ini?" pemimpin dari satu suku bertanduk menyuarakan keraguannya.

"Lalu kenapa kamu berpikir kita tidak bisa melakukannya?"jawab Sang pemimpin.

Sang pemimpin mondar-mandir mencari siasat, sedang angin yang berkali-kali berhembus dijawabnya bisu tanpa mengeluh sedikitpun tentang betapa dinginnya malam itu.


Plok..plok..

Dua kali tepukan tangan --ah, apa jari-jari panjang tak teratur dengan lendir yang terus menerus keluar dari sela-sela jari itu bisa disebuat sebagai tangan-- dari sang pemimpin memberikan isyarat kepada seluruh laskar yang melingkarinya bagaikan pusaran air itu untuk diam. Seketika kesunyian malam menyambut kebisuan mereka. Semua mata kini tertuju kearaha tengah dimana para pembesar dan --tentunya-- sang pemimpin berada. Tidak sesosokpun berbicara, semua sosok bergeming, kecuali satu sosok pembesar yang seperti tak bisa mengontrol ekor merahnya yang terus saja mengibas-kibas.

"Wahaaai.. Yang berkumpul untukku", suara membahana tanpa pantulan, terbebas dibawa angin mampir ke telinga seluruh mahkluk yang hadir disana

"Demi semua kejahatan dan kebencian yang menjadi bagian dari diri kita, aku perintahkan kalian untuk mendukungku"

Semua diam, sunyi, menunggu kata-kata berikutnya yang akan keluar

"Aku, dan semua pembesar kalian, telah sepakat untuk menjatuhkan.." nafasnya mendesah memberi jeda, membuat semua telinga makhluk disekitarnya bergerak-gerak kecil tak ingin salah menangkap getaran suara berikutnya.

"..Fulan!!!..", lanjutnya. Semua mulut terkatup rapat, sebagian membelalakkan mata, hingga terdengar sebuah jeritan dari sekian barisan perang yang menggulung. Keadaan kembali tak terkendali oleh riuh mereka, kecuali para pembesar yang terlihat tetap berwibawa. Para pasukan itu mengumpat, protes.

"Gila apa! itu namanya bunuh diri", seru sesosok dari para prajurit itu pada temannya

"Satu bacaan ta'awudz darinya saja mampu membakar satu kompi dari pasukan kita!", yang lain menguatkan. Teman dibelakangnya hanya mampu melirik kanan-kiri, berharap mendengar keoptimisan dari mulut para prajurit itu. Nihil.

"Aku menyesal kenapa dulu aku bergabung kedalam lingkaran ini"

"Menyesal itu bagian dari diri kita, kawan", kata yang lain mengingatkan.

Mata sang pemimpin membelalak melihat reaksi pasukannya yang ketakutan. Seperti membuang kemarahan itu pada tatapannya yang kemudian dialihkan kearah pembesar-pembesar didekatnya, memunculkan perasaan tak nyaman.


Rapat ditutup dengan keriuhan yang sama. Namun tidak menyurutkan dilaksanakannya misi kontradiktif malam itu. Semua telah dirancang. Bahkan lama sebelum sesosokpun dari mereka pernah memikirkannya.

"Aku pikir pemimpin kita sudah gila", bincang sosok pembesar bertanduk, sepanjang perjalanan pulang.

"Sssstt.. jangan sampai dia mendengar perkataanmu itu!", sosok tua diantara mereka ahirnya berbicara, dengan tetap fokuspada arah terbangnya.

"Apa kita akan menyia-siakan kekekalan yang kita miliki hanya untuk menyerang satu mahkluk bernama manusia itu?"

"Kesia-siaan kan juga bagian dari diri kita", kata yang lain. Terlihat dibelakangnya sederet pasukan yang membuntutinya.


***


Sebuah musik berdengung melapisi dinding, memenuhi seluruh ruangan yang ada, menggema melewati udara hingga bingar keluar, memanggil siapa saja yang melewati tempat itu untuk mampir. Namun tidak untuk Fulan. Dia masih tenang menikmati sajian hatinya yang terus berbicara tentang Tuhannya, tentang ketakutannya jika sampai membuat Tuhannya 'marah'.

"Bos, ini tidak mungkin", protes sesosok pasukan pada pembesarnya melihat keadaan Fulan yang setenang itu.

"Mungkin!", balas sang pembesar memotivasi.

Terlihat salah satu dari mereka melipat sayapnya, menjelma sebagai gadis cantik dengan perut terbuka memperlihatkan bentuk indah perutnya, mencoba menggoda Fulan. Lama sang pembesar memperhatikan dari atas angin, namun yang didapatinya adalah sebuah kegagalan. Sang pasukan kembali menghadap pembesarnya dan melaporkan tugas yang dipasrahkannya, mengira nasibnya habis hanya sampai disini.

"Kita kembali ke markas", sebuah keputusan diambil dan memberi kelegaan pada sang prajurit.


***


"Bodoh!! Semuanya gagal!! Seeeemuanya! Kenapa semuanya!", sang pemimpin marah besar. Taktik telah disusun, langkah sudah diambil tapi tak satupun kompi yang dikirim mampu menyelesaikan tugasnya.

"Aaaaaggghhh!!!" Raungan sang pemimpin menyapa seluruh pendengaran yang ada, mengirim amarah, membuat para pembesar tak berani mengangkat wajah mereka, meminta maaf.

"Saya sudah mengira bahwa misi ini tidak akan berhasil, tuan", sesosok dari mereka memberanikan diri berbicara. Dengusan yang keluar dari hidung sang pemimpin membuat yang lain memilih untuk tetap terdiam.

"Baiknya kita ganti saja target kita.."

"Tidak!!!", spontan sang pemimpin memotong usul yang baginya tak pantas diajukan.

"Berapa banyak waktu yang sudah kuhabiskan untuk semua ini", jubah kebesaran yang dikenakannya mengibas mengusir angin saat sang pemimpin berpaling. Musyawarah demi musyawarahpun berulang dilakukan.

"Kalian tahu? Prestige kita akan melejit naik kalau kita berhasil menyelesaikan misi ini. Dunia tidak akan lagi meremehkan keberadaan kita!"


***


Fulan diserang kebimbangan pada hatinya. Ahir-ahir ini dia merasa betapa sulit hatinya mencintai. Yang ada disekitarnya terlihat begitu memuakkan. Kata-kata manis, sapaan saat bertemu sesama, tawaran bantuan yang diikuti balas jasa, berbagi... Keihlasan? apa itu keihlasan? Dia kehilangan arti. Semua yang pernah diketahuinya tentang kebaikan menyublim! Perlahan-lahan, naluri yang memberitahunya bahwa dia telah mengetahui banyak hal membuatnya ragu, bagaimana kalau selama ini ternyata hal-hal yang membuatnya mengerti ternyata memanggil ketidakmengertian-ketidakmengertian yang lain. Fulan gundah, Fulan dalam ketidaktahuannya, Fulan ahirnya terjebak!


***


"Hahhahah..", suara sang pemimpin kembali membahana dalam majlis yang sama, sebuah tawa kemenangan!

"Good job", Pujinya entah pada siapa, hanya tatapan mata tanpa katup yang berputar menyapu para pembesar yang hadir.

"Kemana? Kemana sang pemilik ekor merah", tanyanya mengabsen

"Saya, tuanku", jawab Yang dicari.

"Licik! Kamu benar-benar licik!", pujinya. Dia membelai-belai dagunya membayangkan episode selanjutnya yang akan berlangsung. "Menyerang dari hati, sebuah ide yang sungguh licik", hatinya tak berhenti membenci.


***


Pening yang sedari tadi timbul tak juga pergi. Fulan kini hendak berjalan pulang, alkohol yang mengaliri darahnya menghilangkan ekuilibrium tubuhnya. Berulang kali permohonan maaf dimintakan pada Tuhannya, dalam keadaan sempoyongan. Tak pernah sekalipun terbersit dibenaknya melakukan hal terlarang itu. Padahal seteguk saja yang diminumnya, baginya telah merusakkan sebagian besar apa yang telah dia jaga selama ini. Bibirnya tak henti memohonkan belas dari Tuhan atas kekhilafannya. Dalam tatihnya, dia menabrak seorang gadis dengan sekeranjang jeruk ditangan kanannya, membuat isinya berhamburan keluar.

"Maaf.. maafkan saya. Saya yang salah", kini Fulan semakin merasa bersalah

"Tidak apa-apa tuanku. Biar saya saja", sang gadis mengambil semua yang tercecer, beranjak hendak pergi saat kemudian mendapati bahwa Fulan telah setengah sadar terjatuh dilengannya minta ditatih.

"Tuan.. Tuan kenapa?", suara lembut yang keluar dari gadis ayu dengan mata bulat besar mengerjap-kerjap indah yang barusan ditabraknya menyeret Fulan jauh ke alam yang tak dikenalnya. Hanya hitam putih, hanya ketidakjelasan, hanya suara gadis itu yang terus terdengar menyerang hatinya, membuatnya semakin mabuk dalam buaian.


Diatas angin sana, sesosok pembesar diikuti anak buahnya berbisik pada pembesar-pembesar lain yang turut memperhatikan kejadian dibumi sana, "Wanita itu jelmaan anak buahku", akunya bangga.


Malam berlalu dalam diam, pening yang Fulan rasakan semalam masih sedikit tertinggal. Dia belum benar-benar mampu membuka mata dengan kesadaran yang belum utuh ketika suara lembut yang tertangkap oleh telinganya adalah sebuah isakan. Berat, dia mencoba memanggil seluruh kesadarannya dan melihat kenyataan bahwa entah kapan dia telah berada diatas ranjang bersama gadis ayu pembawa jeruk yang kini mata besarnya basah oleh air mata.

"Saya..saya.. Tuanku telah..hiks..hiks", isakan tangis sang gadis membuat kata-katanya tak beraturan. Serupa kekacauan yang terjadi di'dunia' Fulan. Hatinya hancur, pikirannya kalut, mulutnya merutuk. Belum selesai permintaan maaf yang diminta pada Tuhannya untuk kejadian semalam atas khamr yang diteguknya. Dan kini...

"Aku...aku...". gagap Fulan tak percaya

"Iya.. hiks. Tuan semalam melakukannya.." Mata itu kini tak lagi tampak ayu, malah membengkak mengalirkan airmata yang sedari tadi tak berhenti menuruni pipinya yang putih.

"Dan tuan harus bertanggungjawab, tuan harus menikahi saya", masih terdengar isak tangis sang gadis. Keringat sebesar jagung merayapi pelipis Fulan. Kengerian atas dosanya, ketakutan atas semua ketidaksiapannya pada kesalahan-kesalahan yang tidak dilakukannya.

"Tap..tapi aku.. aku tidak melakukannya", bela Fulan pada dirinya

"Tuan melakukannya!", sang gadis menjerit putus asa

Entah darimana datangnya, siapa yang memberitahu dan siapa yang memberikan informasi, pintu kamar dimana Fulan dan gadis ayu itu berada didobrak paksa dan terbuka. Tampak seorang laki-laki dengan baju menjuntai ketanah menyeret debu dengan paksa agar ikut bersamanya, mendengus penuh amarah ditambah atribut menyeramkan ditangannya yang siap mengambil nyawa siapa saja membuat Fulan berpikir cepat untuk memprediksi siapa gerangan lelaki yang berdiri beberapa meter didepannya.

"Kau apakan Anakku!!!"

Dugaan Fulan benar! Lelaki itu adalah Ayah dari gadis yang semalam ditidurinya. Langkah sang Ayah cepat mendekati Fulan sambil mengayunkan gadanya, secepat otak Fulan yang mengatur siasat menghindari sabetan gada dan berlari meninggalkan tempat terkutuk itu. Gada meleset dari tubuh Fulan, ia berhasil berkelit. Tangannya menangkis gada, memelintir pergelangan tangan lawannya dan membuat serangan balik dengan mengarahkan gada pada arah yang berlawanan. Berhasil! Fulan berhasil memberikan perlawanan, ketika kemudian Fulan sadari bermili-mili darah keluar dari gada yang menancap tepat didada lawannya. Sang gadis menjerit mendramatisir suasana, menyuarakan kelemahannya. Semakin panik, Fulan benar-benar berlari keluar. Meninggalkan tanggungjawabnya, meninggalkan sosok yang ditusuknya, meninggalkan gadis yang tadinya begitu memikat hatinya.


***


Pesta kecil terjadi diatas langit. Gelombang pasukan yang berbaris menyanyikan kebahagiaan

"Aku tidak menyangka kita akan berjalan sejauh ini", sosok pembesar bertanduk berbisik pada temannya sesama pembesar.

"Beluuum! Kita bukan hanya akan berhenti sampai disini!" seringai sang pemimpin. Ambisinya begitu besar demi membuat dunia agar mengakui eksistensinya.

Mata tanpa katup miliknya menyiratkan dendam. Dendam pada Adam dan semua anak turunnya, siapapun!


***


Fulan terengah-engah mengambil nafas. Hampir seluruh tubuhnya terendam didalam tanah. Hanya kepalanya yang terlihat tersisa diatas permukaan tanah. Hidungnya begitu dekat dengan tanah, hingga semua yang dihirupnya adalah tanah, dan itu membuatnya semakin sulit bernafas.

"Benarkah lelaki ini yang telah menghamilimu dan membunuh ayahmu?", tanya seorang penduduk desa sambil menyeret seorang gadis untuk melihat siapa yang ditanam didepannya. Dengan kepiluan yang mengalir bersama airmatanya, sang gadispun mengangguk mengiyakan. Dan umpama sebuah komando, orang-orang yang telah ramai mengelilingi pun melempar batu yang telah dipersiapkan. Tak bisa bergerak, batu-batu itu telak merobek-robek kulit wajah Fulan. Membentur tengkorak kepalanya, menghantam syaraf-syaraf dikepalanya memunculnya rasa nyeri yang tak terperi. Mulutnya meringis menahan perih pada ujung bibirnya yang sobek oleh hantaman batu, entah siapa yang membuang batu itu. Tapi sang pelaku telah begitu geram dengan semua perbuatan yang dialkukan Fulan.

"Ternyata kamu lebih busuk dari kami!", umpat seorang penduduk sambil meludah didepan Fulan.

"Tangisanmu saat kau terjatuh dan tak sengaja mencabut seonggok rumput, adalah palsu!", tambah yang lain memprovokasi.

Hati Fulan merintih. Tak tahu apalagi yang harus dilakukan. Bagaimana dia membela diri jika semua penduduk telah melihat sendiri dengan mata mereka atas apa-apa yang telah dilakukan Fulan.

Matahari hendak beranjak pergi, meninggalkan Fulan ditemani darah yang tak henti mengucur. Orang-orang telah puas melampiaskan amarahnya dan kembali kerumahnya masing-masing, membawa cerita tentang betapa taatnya Fulan, dan bagaimana kini Fulan terjebak pada perbuatan setan. Debu yang telah banyak menyumbat hidung, perih yang melumuri kepala Fulan dan semua perasaan yang dideritanya memunculkan rasa haus pada tenggorokannya. Pasukan berduyun-duyun diatas sana memperlihatkan senyuman. Sang pemimpin bersiap turun menemui Fulan, "Sekaranglah waktunya", gumamnya.

Fulan memanggil-manggil Tuhannya, meminta belas dari Tuhannya dan masih meyakini bahwa dia hanya menyembah Tuhan yang telah menciptakannya beserta ujian-ujian yang beruntun diterimanya. Sebentuk mahkluk menjelma didepan mata Fulan. Sebuah jubah kebesaran tanpa kaki yang menjuntai, menantang andrenalin Fulan untuk menatap keatas dan melihat siapa didepannya.

Sebuah seringai menyambutnya, "Kamu haus? Kamu butuh air minum, bukan?", sang pemimpin tersenyum penuh kemenangan diikuti sorak sorai dari seluruh pengikutnya diatas angin sana.

Hati Fulan ingin terus bertahan dengan keadaannya saat ini, namun rasa hausnya terasa lebih menyiksa.

"Ini minuman untukmu tapi kamu harus menyembahku", sebuah tawaran tak menguntungkan dari sang pemimpin untuk Fulan. Kebimbangan menyerang, sebuah keputusan besar harus diambil

"Aku menyembah Tuhanku, dan bukan kamu!", teguh Fulan

"Dengan meminum air ini, kau akan tetap hidup dan itu bisa memberimu waktu untuk meminta ampun atas semua perbuatanmu". Seteko air dikucurkan didepan tubuh Fulan yang masih tertanam didalam tanah kecuali kepalanya itu, membuat Fulan menggerak-gerakkan mulutnya, berharap lidahnya yang terjulur akan menyentuh air yang terkucur segar itu. Fulan tak berpikir panjang, Fulan ceroboh, Fulan terlalu tergesa-gesa hingga ahirnya, "Baiklah.. baiklah..", Nafasnya terengah-engah, "Saksikanlah bahwa sejak saat ini, aku adalah hambamu, aku menyembahmu", Fulan memutuskan. Ia tundukkan pandangannya sebagai isyarat bahwa dia telah menghamba pada mahkluk didepannya, pada mahkluk selain Tuhannya.

Bumi menghembuskan angin membawa kesunyian, pun membawa nyawa Fulan menghadap Tuhan. Padahal belum lagi air segar itu dialirkan ke tenggorokan Fulan..


Seketika, teriakan riuh dari para pembesar berikut pasukannya memenuhi jagat, menandakan kemenangan akan pembuktian eksistensinya sebagai salah satu mahklukNya, sebagai musuh terbesar Adam, melarutkan tawa kebanggaan yang keluar dari mulut Ifrit yang berlendir, sang pemimpin.


***


"Tidur, sayang. Mungkin tidak saat ini, tapi suatu saat kamu pasti akan mengerti maksud dongeng ini..."





Barsesha, terimakasih