Senin, 16 Maret 2009

Malesnya berangkat ke sekolah

Pagi tadi matahari sudah cukup tinggi menyingsing pas aku bangun tidur selepas subuh tadi. Jam 8.20, mataku melirik hape yang selalu setia berada didekat bantalku sepanjang malam. Wah, hari ini musti masuk sekolah ni. Aku menggeliat mengusir rasa malasku. Tapi malah kugulung badanku dibawah selimut saat sejenak kemudian aku disambut angin dingin. Ya, belakangan cuaca diluar memang unpredictable. Kemarin-kemarin sempat badai debu selama tiga hari gak berenti-berenti. Padahal saat ini kan winter. Beberapa hari yang lalu aku malah sempat salah kostum. Pas aku ngecheck udara dengan cukup keluar ke balkon kamar flatku tu panas. Eh taunya, pas malemnya kan aku masih diluar, nah udaranya jadi berubah windy plus duingiiiin banget. Hadooooh...

Begitulah, sebagaimana cuaca yang gak ketebak itu pula yang jadi alasan pendukung kenapa aku jadi ngelasa males-malesan berangkat sekolah pagi ini --halah, emang kamunya aja kali yang males O'--. Yah, setelah pergulatan suara hati yang begitu sengit -halah-, dan setelah menimbang baik-buruknya, ahirnya diputuskanlah untuk berangkat ke sekolah :D

Dingin.. Ya, diluar dingin. Tapi dengan semangat '45 demi tak ingin mencecap pahit yang pernah terasai olehku dulu, aku pun berangkat ke sekolahku yang tidak mengharuskan muridnya hadir setiap hari itu. Ah, rasa malas dan berat itu memang hanya terasa saat aku masih diatas kasur tadi. Toh setelah aku melangkahkan satu kakiku, semuanya terasa ringan. Apalagi setelah sampai disini, di sekolahku. Uuuuuughh... wangi angin yang sangat menyenangkan disini. Berdasar tata letak sekolahku, kelasku terletak setelah kampus kedokteran gigi dan kantin sekolah. Jadi saat datang dari gerbang sekolahku, kalian akan melewati gedung untuk anak-anak psikologi. Disusul selanjutnya kampus kedokteran gigi itu tadi yang sebagian kelasnya dipakai untuk anak theologi tingkat 1. Berjalan semakin jauh dengan struktur bangunan yang semakin masuk kebawah -seperti tertanam didalam bumi- maka kemudian dua kantin berjajar penjual macam-macam sandwich, pizza dan snack-snack ringan beserta minumannya. Nah, setelah itu baru deh urutan kelasku yang terletak di bangunan lama sekolahku -universitasku, maksudnya- :D

Nah aku tuh paling suka kalo berada di area kantin sini. Karena disini ini tempatnya para bidadari berkumpul. Entah mereka itu baru hendak masuk kelas, atau selesai mengikuti kelas pelajaran mereka, atau mereka yang hanya menjadikan kantin ini tempat janjian dengan temannya. Entah. Tapi aku suka saat berada disini. Aku bisa melihat banyak bidadari. Mau kecantikan yang sepeti apa? Jutaan kecantikan ada disini. Mau bentuk hidung bangir seperti apa? Kekreatifan Tuhan ada disini. Mau style baju yang kaya' apa? Semua ada disini. Bidadari-bidadari itu memang tidak pernah tahu bahwa seorang manusia sedang menikmati keindahan mereka disini. Ah, kalau sudah begini rasanya menyesal juga kenapa tadi sempat terbersit untuk malas ke sekolah.

Agar tak dicurigai oleh bidadari-bidadari itu, aku meneruskan perjalananku seperti biasa. Kemudian hatiku dikagetkan oleh sebuah pandangan sepasang mata didepan sana. Itu Zanuba!
Hei, apa kabar mbak? sehat kan? Aku menyapa bidadri itu
Hamdulillah.. Baru mau masuk kelas ya?
Iya nih
Hup. Sebuah tangan mungil menyelinap masuk dicelah lenganku dan menggandengku
Pagiiiii,
sapanya. Sekarang Lilis.
Oke deh, aku juga mau ngurus administrasi untuk perpanjangan izin tinggal dulu ya, Zanuba pamitan. Kujawab dengan senyum. Aku menuju kelasku ketika dari belakang terdengar seseorang memanggil pelan namaku.
Ukhtiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii, teriakku saat tahu siapa yang berada dekat dibelakangku. Entah kapan terahir aku ktemu ukhti Zulfa, yang aku tahu aku begitu merindukannya. Merindukan wajah teduhnya yang selalu tertutup cadar dan hanya menyisakan kilau matanya tiap berada diluar rumah. Dan aku juga merindukan cerita-ceritanya, dan senyumannya. Aku memeluknya erat.
Alhamdulillah, terimakasih karena mentakdirkan aku untuk ke sekolah, jadi aku bisa ketemu teman lamaku, Allah.

Aku berjalan pelan bersama ukhti Zulfa saat beberapa jarak dariku ada bidadari lain yang lewat begitu saja.
Ebah!!
panggilku sedikit berteriak.
Hwaaaaa... O'o.... Kecantikan itu mendekatiku. Cipika-cipiki. Sebentar bertanya kabar dan membuat janji. Iya, hanya sebentar pertemuan kami tapi membuatku selalu mensyukuri takdirku hari ini.

Begitu kelas diahiri, aku pun keluar dan beranjak meninggalkan sekolah. Ketika berada di taman sekolah, aku berteriak histeris ketika melihat bidadari lain yang menghampiriku; Chopi.... Itu juga ada Jessy, ada Putri. Hwaaaa.. Allah, hari ini aku ktemu banyak banget temen-temeeen..
Mereka yang, bagiku mungkin butuh waktu lebih dari sehari jika sengaja menyempatkan diri maen kerumah mereka masing-masing yang terpisah-pisah. Tapi cuma dengan berangkat ke sekolah, aku bisa ktemu mereka, menyapa mereka, bercengkrama dengan mereka, memeluk mereka. Makasih Allah, meski sempet males, ahirnya tadi aku berangkat sekolah juga ^0^

Jumat, 13 Maret 2009

Pelukan

Pernah baca "Chicken Soup for Soul" gak? Dulu pas ulang tahunku ke 17, Kakakku yang cowok --kakak pertamaku-- ngasih aku hadiah buku itu. Isinya tu, uuughh... baguuuuus banget. Membangkitkan semangat, menentramkan jiwa, memberikan alasan-alasan logis kenapa kita harus berbuat baik, tentang kekuatan senyuman, dan satu lagi;manfaat sebuah pelukan.
***

Suatu malam, tersebutlah sebuah keluarga kecil ditengah hutan belantara. Bukan. mereka bukan tinggal sendirian. Mereka memiliki tetangga disekitar rumah mereka. Namun sayangnya, lingkungan tempat mereka berada adalah sebuah lingkungan padat penduduk tanpa keramahan. Hidup mereka dipisah oleh daun pintu rumah. Begitu daun pintu sebuah rumah itu tertutup, maka terputus pula segala bentuk interaksi dengan dunia luar, kecuali interaksi yang terjadi didalam rumah itu sendiri. Bahkan bukan tidak mungkin, didalam rumah itu sendiri kehidupan pun masih dipisah, oleh hal yang sama;daun pintu kamar!

Tersebutlah Nila, Mila dan Kila. Sebagai bungsu, justru Nila menjadi anak paling rajin diantara kedua saudara tuanya. Setiap pagi dia membereskan ruang tamu, mencuci piring sisa makanan pada malam lalu dan membereskan apa-apa yang perlu di rapikan. Begitu yang terjadi sepanjang pagi di tiap harinya.
Sesekali, Nila merasa jenuh juga jika harus terus-menerus mengalah menghadapi sikap acuh takacuh kedua kakaknya.
"Kalau kamu merasa lelah untuk mengalah, berarti kamu selama ini tidak benar-benar mengalah ya?", begitu tanya Nila pada dirinya sendiri. Dan kalimat sama yang diulang-ulang didalam otaknya itulah yang membuat dia bertahan.
Namun apa mau dikata, sebuah kewajaran ketika Nila tidak lagi mampu bertahan dengan semua kegiatan monoton yang dilakukannya sehari-hari .
Paginya pun berubah. Yang tadinya penuh dengan kegiatan, sekarang hanya diisinya dengan tidur, tidur dan tidur. Padahal Nila sudah tidur semalaman, tapi ya mau gimana lagi.
"Masa aku lagi yang masak sarapan? Masa aku lagi yang beres-beres rumah? Masa aku lagi...??!!", batin Nila. Dan suara-suara yang biasa memberi semangat Nila untuk melakukan banyak hal, kini bisu. Tak terdengar.

Tampaknya suasana musim dingin tidak hanya terjadi diluar rumah saja. Bahkan, masuk hingga kedalam rumah Nila sekeluarga. Nila kini yang juga jadi ikut-ikutan acuh-takacuh. Rumah berantakan, gak ada lagi sarapan tiap pagi, piring menumpuk di wastafel dapur.. Ah, semuaaaanya kacau.
Rapat keluarga pun digelar. Nila mulai disidang oleh kakak-kakaknya.
"Nila, kamu kenapa sih ahir-ahir ini kok berubah?", tanya Kila si sulung.
"Kakak udah jarangn melihatmu terbangun saat kakak bangun. Biasanya kan kamu yang paling awal bangun dirumah kita", sambung Mila.
"Iya! Aku yang paling awal bangun. Aku juga yang membereskan rumah. Selama ini juga aku yang menyiapkan sarapan. Aku, yang sering membereskan semua apa yang kalian tinggalkan. Dan kalian gak pernah tahu hal itu, karena kalian saat itu masih tertidur!!!", Nila berteriak membela diri. Dan suara hatinya itu hanya terdengar oleh telinganya sendiri. Sedangkan Mila terlihat bingung dengan sikap adiknya yang bungkam.
"Ya sudah", kata Kila memutuskan, "sekarang kita buat kesepakatan, bagaimana kalau kita menjaga dan memelihara rumah kita bersama-sama." Sambungnya.
"Lho, memang seharusnya begitu!", protes suara hati Nila.
Hati Nila nelangsa, batin Nila tersiksa. Entah kenapa, Nila merasa kata-kata kakaknya barusan begitu menyakitinya. Seolah selama ini rumah memang tak terurus. Tapi bukankah selama ini Nila yang membereskan semuanya? Meski memang mungkin kakak-kakaknya tidak perrnah tahu karena mereka pasti masih terlelap saat Nila melakukan semua aktifitasnya dipagi buta. Nila ingin menangis, Nila ingin melelehkan semua sakit hatinya lewat airmata yang mengaliri pipinya. Tapi Nila tidak ingin menangis didepan kakak-kakaknya. Nila tidak mau terlihat lemah didepan mereka. Biar saja Nila yang merasakan semua. Tak perlu lah memberitahu mereka bahwa selama ini justru Nila yang telah melakukan banyak hal untuk mereka. Nila ingin menangis, Nila ingin dipeluk...
Hati Nila semakin terbebani saat diingatnya bahwa biasanya Peri Bunga selalu datang menawarkan pelukan saat dia ingin menangis seperti saat ini. dan entah bagaimana, Nila tak pernah tahu, pelukan hangat dari Peri Bunga yang tubuhnya lebih kecil dari Nila itu mampu memberikan kehangatan yang mengaliri seluruh tubuhnya melebihi jaket bulu panjang yang sering dikenakannya saat musim dingin. Tapi kini sedang musim dingin, Peri Bunga tak mungkin berada diluar sana. Karena peri bunga hanya muncul di selain musim ini.
Lalu Nila juga teringat pada Yiba, sahabat terbaik yang sudah dianggapnya sebagai kakak, yang selalu menyediakan pelukan sayang untuknya saat Nila memintanya. Tapi saat ini Yiba sedang berburu di rimba. "Akankah Yiba merasakan bahwa seseorang membutuhkan pelukannya saat ini?", tanya Nila pada hatinya. Namun malam hanya menjawab dengan hembusan dinginnya. Hati Nila benar-benar nelangsa kini. Tak satupun pelukan didapatkannya. Tidak dari Peri Bunga, tidak pula dari Yiba.
"Allah, Nila pengen nagis..." Dan airmatapun meleleh.
Airmata Nilapun membuncah dari bendungannya. Nila menangis karena merasa lelah dengan semua ini. Nila juga menangis karena merasa sendiri. Nila ahirnya menangis...
Malam masih sepi, menyisakan hembusan beku. Suasana musim semi semakin menambah kekakuan yang tercipta. Nila masih ditengah tangisannya ketika dia rasakan sebuah hawa hangat pelan-pelan menyentuh pundaknya. Rasanya seperti sentuhan Peri Bunga.
"Tapi Peri Bunga tak mungkin ada disini." Ia menyapukan pandangannya keseluruh ruangan. Dan memang Peri Bunga tak ada disana. Sentuhan hangat itu semakin terasa merengkuhnya. Seolah terbawa dalam hangatnya kasih, Nila semakin larut dalam tangisannya didekap pelukan tak bertuan. Dan ketika Nila mulai menyadari bahwa tak seorangpun yang memluknya, ia kemudian tahu bahwa yang kini mendekapnya dengan kehangatan adalah Allahnya! Disaat semua kemungkinan tidak mungkin lagi terjadi, saat itulah usapan tangan Allahnya menepis airmata yang berjatuhan. Nila kini tak sendirian lagi, Nila kini tak nelangsa lagi. Nila mendekap balik kehangatan yang sekarang dirasakannya, "Nila sayang Allah...", akunya.
Malam musin dingin dengan tangisan Nila ditengahnya. Tanpa Peri Bunga. Tanpa Yiba. tapi Nila selalu punya Allah yang akan menemaninya kapan saja..