Senin, 21 Juni 2010

Rizkiku, rizkimu.


Mbak Hesti dan aku berangkat ujian siang tadi bersama. Pulangnya juga kebetulan bareng. Sepulang ujian, kami sepakat untuk mampir ke sebuah toserba untuk membeli kipas angin. Sudah tidak betah rasanya bertahan menggunakan kipas manual. Sedangkan musim panas terus menerus merangkak menuju puncak panasnya. Siang tadi saja 44 derajat celcius. Sungguh panas yang tak biasa!

Sambil menahan panas yang terasa menggigit kaki yang sudah terbungkus rapat oleh kaos kaki dan sepatu, kami teguh pada niat untuk membeli kipas angin sebelum pulang ke flat kami. Tapi kami harus menelan kekecewaan saat tak menemukan kipas angin dengan “harga mahasiswa” yang jadi incaran. Begitu keluar ruangan dan kembali disapa sengatan mentari setelah sejenak bisa mendinginkan diri didalam toserba, mbak Hesti mengajukan sebuah usulan, “Kita ke sekretariat aja yuk”. Dengan cepat kepalaku mengangguk setelah bayangan nyamannya sekretariat yang ber-AC itu tergambar di otak. Kaki tak jadi melangkah pulang. Melainkan langsung ke sekretariat dengan membawa oleh-oleh seadanya untuk para mahasiswa yang mendiami aset Pemda itu.

Handphoneku berdering. Telepon dari adik angkatku, menanyakan keberadaanku. Tak lama berselang dia sudah berada di sekretariat tempatku berada, langsung bergabung bersama yang lain menonton bola dari tivi 31” di ruang tengah. Tak terasa 3 jam sudah berlalu. Mbak Hesti sempat masak telor balado plus terong tadi. Bahkan aku sudah menyelesaikan satu film, shalat dan lain-lain. Langit kini cukup gelap namun tak mampu menghapus sisa cuaca lewat hembusan hangat sang angin.

Bertiga kami menyusuri trotoar jalan menuju pulang; aku, mbak Hesti dan adik angkatku, Romy. Kebetulan flat Romy tak jauh dari flat kami, maka kami berjalan beriringan. Seperti lupa pada kehawatiranku dan mbak Hesti tentang nilai yang akan kami dapatkan atas pelajaran yang diujikan siang tadi. Seperti lupa bahwa 3 hari setelah ini kami akan kembali menghadapi ujian mata pelajaran selanjutnya. Kami tertawa, bercanda, berkomentar pada apa-apa yang kami lihat sepanjang perjalanan pulang, mengacuhkan cuaca yang sangat tidak nyaman ini.

Ditengah perjalanan kami berpisah. Mbak Hesti pulang menuju rumah, sedangkan aku dan Romy masih harus mampir ke 2 rumah teman kami karena ada janji. Dua jam kemudian aku sudah sampai rumah dan mendapati rumah dalam keadaan sepi. Bahkan kamarku gelap, tak ada orang. “Kemana mbak Hesti?”, tanyaku yang tak mendapat jawaban.
Aku sedang merecharge handphoneku yang off sejak dua jam lalu karena kehabisan baterai, saat sebuah SMS masuk. Dari mbak Hesti.
“Nduk,ak di flat sblh.Iyah,td ak dah mau tdr!Eh,si Eki nlpn ak ngajak makan,sbnrnya suruh ajak kmu! Ak tlp kmu Hpmu g aktif.Yawdah bkn rizkimu!hehe”

Dengan tersenyum aku membalas SMS tersebut.
“Ho oh Hpku td batrenya hbs sama skali. Ak dpt rizqiku sendiri kok mbak; nonton “Emak Ingin Naik Haji” n pengalaman spiritual tersendiri saat menontonnya”.
“Bagiku itu lebih menyenangkan dari sebuah traktiran makan”, lanjutku dalam hati.
Lalu aku tersentak oleh balasan SMSku sendiri. Selama ini kata-kata “mungkin belum rizqinya” ku pahami sebagai sebuah keadaan dimana ada dua orang atau lebih, mendapatkan kesempatan yang sama. Tapi sebagian dari mereka memperoleh keberuntungan [atau apa yang mereka harapkan] dan yang lainnya tidak. Ada yang bahagia, ada yang sedih. Ada yang beruntung, ada yang tak beruntung.

Nah, bagaimana kalau ternyata kondisinya seperti ini: saat kita kehilangan kesempatan mendapatkan apa yang kita inginkan, diwaktu yang sama pada hal yang berbeda kita sedang menikmati pencapaian lain yang tidak kita sadari keberadaannya. Jadi sebenarnya tak ada yang benar-benar dalam keadaan sedih. Maka tiap orang memiliki keberuntungannya masing-masing.
Maha Inspiratif Allah dengan segala cerita kehidupan yang Ia tuliskan…

Jumat, 28 Agustus 2009

Once upon a time

Aku pernah hampir berhenti menulis. Sampai suatu waktu, seorang kakak memberitahu tentang bagaimana dia menyukai cerita2ku disini. Dan dia selalu mengikuti dan menyimak setiap ceritaku.

And know what? Betapa tidak produktifnya aku akhir=akhir ini karena tak lagi menulis. Dan salah satu alasannya adalah karena kakakku itu tak lagi terdengar kabarnya. Apakah dia masih sesekali mengunnjungi blog ini atau tidak. Kemudian, setelah sekian lama aku lalu menyadari, bahwa gak seharusnya aku berhenti berkarya. Aku harus tetap menulis. Membagi perasaan, menuliskan pengalaman-pengalaman, mengajak orang lain merasakan apa yang sedang dirasakan orang-orang disekitarnya.

Aku harus menulis untuk orang banyak. dan aku harus menulis tentang banyak hal. Biar kalau sewaktu-waktu kakakku itu teringat dengan keberadaan blogspot ini, dia akan menemukan banyak cerita yang kutulis, juga untuknya.

Makasih kak

Kamis, 25 Juni 2009

Perasaan Paling Menenangkan


Lately, I used to hate someone. Padahal dia berada didekatku. Tapi gak tau kenapa, aku ma dia jarang bisa "nyambung". kebayang dong, tiap beberapa jam sekali ketemu, tapi yang ada kita tuh cuma diem-diemaaaan terus. Sakit sih. Makan ati. G tau deh. Pokoknya gitu. Bawaannya tuh aku sering berprasangka yang enggak-enggak mulu ama dia. Entah dulu gimana awalnya, tapi setauku kita semakin jauh, semakin ngerasa asing, semakin membenci, asing. Selama ini sih dia baik-baik aja. Karena meski terkesan g ramah denganku dan beberapa org disekitarnya, dia punya sahbata baik yang selalu nyempetin buat main kerrumah dan menghibur dia. Sesekali, sahabat baik dia itu mengajaknya jalan-jalan keluar. Anehnya, meski aku gak memungkiri kalo hatiku seringnya benci tiap ketemu ato berinteraksi ama dia, aku selalu menikmati gelak yang terdengar sampai keluar kamarnya saat sahabat baik dia melontarkan sebuah humor. Aku juga suka matanya yang berbinar setiap kali membuka pintu rumah, dan mendapati sahabat baik dia ada dibalik pintu sana. Ada kelegaan di hatiku pada tiap senyuman yang muncul diwajahnya.

Sampai suatu ketika, sahabat terbaiknya pergi berlibur. Hanya sementara, sebenarnya. Tapi sperti yag kuceritakan tadi, hanya sahabat baiknya itu satu2nya orang yang bisa memunculkan ekpresi di wajahnya. "Seluruh hari akan kembali bisu. tak akan ada lagi gelak untuk sementara", pikirku. Aku merasakan sedih yang dia rasakan saat kepergian sahabatnya itu. Aku ingin menghiburnya, tapi urung. Karena kupikir, aku tak akan pernah bisa melakukan hal itu setelah semua yang terjadi diantara kami selama ini. kebekuan tak akan mencair hanya karena sedetik peristiwa. Entahlah.

Malam setelah keberangkatan sahabatnya itu, kudengar ada sebuah isak tangis tertahan. Seorang temanku mengetuk pintu kamarnya dan mendapati dirinya menangis. Benar-benar menangis! Benar-benar sedih! Entah dorongan darimana. Mungkin intuisi. Aku sertamerta masuk kedalam kamarnya. Sedangkan teman yang berinisiatif untuk membuka pintu kamar miliknya, hanya terhenti di pintu kamar. Intuisiku bekerja lagi. Aku mengusap kepalanya, merasakan getaran dari isak yang ada. Perlahan, kata-kata pun keluar dari mulutku, mencoba menengakannya. Lalu seketika semua benci dihati hilang. berganti empati. Trus aku nyadar, ternyata perasaan paling menyenangkan adalah menyayangi. Bukan membenci.