Kamis, 07 Februari 2008

Konspirasi tahunan

Tut...tut...
Nada sambung diseberang sana berulang kali berbunyi bersamaan pengulangan yang kulakukan, men-dialed nomor yang sama berkali-kali.
"Kenapa nggak diangkat?" tanya hatiku.
"Seandainya aku bisa ketempatnya saat ini juga," hanya jika saja aku mungkin melakukannya. Sayangnya, saat ini pun semua hanya terhenti pada sebuah pengandaian, seperti hari-hari yang lalu.
"Bodoh, ini karena salahmu. Tidak pernah lagi main kerumahnya. Bahkan menanyakan kabar saja nggak," suara hatiku berbicara lagi. Pusing aku. Rasanya benar-benar ingin ke rumahnya saja saat ini. Tapi urusanku untuk lapor pendidikan di KBRI-Mesir belum selesai. Mana berkas-berkas yang kubawa kurang, lagi. Kutatap lama jam tanganku, mencoba mengkalkulasi waktu dan mensiasatinya.
"Yep, kembali ke rumah, melengkapi berkas-berkas, kembali menuju KBRI-Mesir dan makan." perutku memang sedari tadi kelaparan. Namun tak tenang rasanya harus makan dulu, sedangkan mulutku tak bisa menikmatinya gara-gara memikirkan urusan-urusan yang tak kunjung selesai. Kelegaan yang memenuhi rongga dada mendorong mulutku berucap terimakasih untukNya, alhamdulillah... ahirnya selesai juga. Hup, aku sedikit melompat dari dalam angkutan, berharap cepat sampai rumah dan menikmati makan siangku.
"Gimana O' urusannya? lancar?" tanya mbak Najah menyambutku
"Alhamdulillah mbak, lancar. Lapor pendidikannya langsung jadi hari ini kok. Jadi besok bisa ngasih berkas-berkas untuk mengajukan permintaan beasiswa itu," bahagiaku membuatku bertutur panjang lebar pada pertanyaan mbak Najah yang seharusnya cukup kujawab dengan kalimat pertama. Adzan ashar terdengar datar terlantun dari masjid sebelah saat aku menyuapkan sendokan terahir makan siangku. Rasa capai mulai menjalari kaki dan punggungku. Keinginanku untuk menemui teman-temanku tertindih egoku. Akupun tak bisa lagi menahan kantuk dan begitu saja berucap, "I think I need a rest". Menyisa sesal saat terbangun, mendapati bahwa aku serasa tak melakukan apa-apa --tak juga mendapati dirinya mengangkat telephon dariku saat aku mencoba menghubungi lagi HPnya-- dan berharap keajaiban terjadi atas kedatangannya malam ini dirumahku untuk reuni bersama komunitas kecil yang aku, dia dan 3 temanku yang lain bangun musim panas lalu. Namun sesal harus kembali muncul dan segala jenis rutukan terucap hatiku, ya untukku. Hingga waktu membawaku pada pertengahan acara reuni yang menyenangkan itu, tetap saja tersisip kehampaan atas ketidak-datangannya. Aku kembali mengulangi hal yang sama, memencet nomor yang sama pada keypad HPku. Tak ada jawaban. Pun tak ada jawaban saat Dipo, teman yang menghadiri reuni sederhana itu melakukan hal yang sama denganku. Aaggh... aku tak pernah merasa segundah ini sebelumnya.
"Ini semua salahmu!" tudingku pada hidungku sendiri. Jam tanganku mengeluarkan bunyi "Tit" pelan, melakukan kebiasaannya sebagai mesin untuk mengingatkan Sang pemakai bahwa waktu kini telah berganti jam. Dan saat kulirik pergelangan tanganku, dan kulihat jarum jam mengoceh jengkel padaku yang sedari tadi tak menghiraukannya yang memberitahuku bahwa sore telah meninggalkanku bersama 3 teman yang mengelilingi. Dan rasa sesalku yang masih belum bosan menggelayut dihatiku. Sekitar pukul 22.00 reuni kecil-kecilan itu pun berahir. Aku beranjak membereskan kenangan yang barusan terukir. Telah teralihkan oleh kegiatan lain, egoku merubuhi sebentuk keresahan atas seseorang yang tak memberiku alasan kenapa ia tak mengangkat telephon dariku. Menggoreskan dalam, sebentuk penyesalan, kebencian pada diriku sendiri. Aku jadi mempertanyakan, kenapa ego kadang begitu egois. Aku menguap beberapa kali dan hendak berbaring tidur saat melirik pojok kanan komputer dan mendapati saat ini pukul 23.40, namun urung saat teringat bahwa aku belum sholat isya'. Hatiku tak tenang dan mulai menebak-nebak apa yang akan terjadi malam ini, atau esok, bertepatan dengan ulang tahunku. Ada apa dengan dirinya? masih tak terjawab tanyaku sampai tadi Dipo menyodorkan HPnya dan menunjukiku sebuah SMS. Membacanya, kemudian menekan navigator ke arah bawah dan aku tersenyum kecil saat membaca who the sender is. "Gotcha!" seruku memahami trik yang kini terbaca. Trik yang dilakukan setahun sekali, trik untuk orang-orang yang ulang-tahun, aku. Namun dengan ketidak beradaannya saat ini, tetap saja membuatku penasaran apa yang akan dilakukannya nanti. Tok..tok...tok... rasa kagetku membuatku reflek menoleh kearah jam dinding kamarku.
"Jam 12 malam. Ada tamu jam segini?" otakku menalar cepat memprediksi siapa orang dibalik pintu sana. Ketukan pintu kembali terdengar dan aku baru tersadar bahwa yang seharusnya membukakan pintu adalah aku sendiri, satu-satunya orang yang berada pada jarak terdekat dengan pintu utama.
"Siapa ya?" raguku bertanya pada suara ketukan itu. Hanya terdiam, sepi menjadi jawaban.
"Siapa?" ulangku
"Aku.." jawaban pendek itu mempersulitku memprediksi siapa pemilik suara itu. Tapi yang pasti itu adalah suara seorang perempuan.
"Siapa perempuan ini? mau apa dia malam-malam begini? kira-kira dia mencari siapa ya? mencariku? hendak bertemu mbak Lely, atau temannya mbak Najah? jangan-jangan nyari mbak Mita" sekian tanya yang selayak kelebatan cahaya mampir ke otakku namun tak kemudian memperlambat lakuku membukakan pintu, menyangka bahwa seorang perempuan dibalik pintu sana adalah seorang teman yang dalam kesulitan hingga menyeretnya untuk sekedar mengetuk pintu pada malam selarut ini. Kecemasan terjawab, pertanyaan terenyahkan, kebahagiaan menyambut dan sebuah dekap menyelimuti ketika ternyata ahirnya aku mengetahui bahwa ternyata yang datang adalah Ukhti Zulfa, kemudian aku juga melihat Layyin yang melewatiku begitu saja, Ana, ah... suasana tiba-tiba jadi sedikit riuh dengan kedatangan mereka. Dan terlengkapi saat aku melihatnya, dengan gaya has-nya, tertunduk didepanku, orang yang sedari tadi tak pernah mengangkat telephonku, Elok. Aku masih berdiri didekat pintu dan melongok keluar rumah takut masih ada yang ketinggalan dari rombongan mereka saat beberapa detik sebelum memasuki rumahku, Elok sempat memandang kearah tangga disamping flatku. Benar saja, sesosok yang lama sekali tak ku jumpai menjunjung sebuah kue tart dengan lilin diatasnya dan berjalan turun dari tangga sambil menyayi pelan, "Happy birthday to you..", "Happy birth day to you..." beberapa suara menyambung menirukan lagu yang sama terdengar dari dalam rumahku.
"Ya Allah... Hanif," kataku terkejut disela ramai nyanyian mereka kemudian mendekap Hanif. Dan saat aku belum sepenuhnya menguasai rasa dalam hatiku, malam jadi semakin gaduh karena kini aku jadi "mangkok adonan kue". Telur, pasir dan gula berurutan mengguyur kepala dan melumuri tubuhku."Yee.... selamat ulang tahuuun" aku harus segera menutup pintu rumah takut mengganggu tetangga depan flatku. Aku membalik badan saat telah sempurna menutup pintu rumahku dan kudapati teman-temanku menjunjung kue tart cantik yang mereka bawa. Sebentar, ada yang muncul dr balik tirai ruang tengahku. Ternyata Mbak Lely dan Mbak Najah juga membawakanku roti dengan lilin-lilin kecil diatasnya.
"Yummy... baru kali ini aku mendapatkan dua kue ulang tahun. Kalau biasanya hanya satu kue saja, atau sama sekali nggak ada kue. Kebetulan, bertepatan dengan umur dua puluhku. Ah... aku kadang menghubung-hubungkan sesuatu semauku," girangku sambil menghampiri tempat mereka berdiri sekarang dengan badan bau amis telur, tentunya.
"Make a wish..." seru mereka berebut.
"Allah, untuk orang-orang yang menyayangiku, sayangi mereka melebihi rasa sayang yang mereka berikan untukku," ucapku sambil menyapukan pandanganku pada mata tulus wanita-wanita berhati bidadari didepanku.
"Allah, terimakasih untuk semua skenario ini," ungkap batinku saat aku memejamkan mataku dan meniup lilin-lilinku.
"Potong kuenya dong. Kita nunggu jam 12 tuh lama banget tau..." rujuk salah satu mereka
"Iya, kita udah laper ni," sambung yang lain, lucu. Itulah mereka, yang selalu cantik dengan cara mereka sendiri. Menuturkan perasaan dalam hati, melalui jalan yang jarang ditempuh orang lain. Aku tak habis pikir, bagaimana Allah begitu baik menghadirkan orang-orang baik hati disekitarku sedangkan aku masih saja tersering mengacuhkanNya, mengingkari kebaikan hatiNya, menghianatiNya. Dia yang Maha misterius dengan semua rencana yang dibuatNya. Haaah... yang pasti aku malam ini bahagiaaa sekali.






Semua orang sudah terlelap dibalik hangat selimut mereka. Namun tidak denganku. Bahagia membuncah yang terluap dari hatiku membuatku tak bisa tertidur. Bagaimana tidak? skenarioNya dilakonkan apik oleh mbak Najah, mbak Lely, Elok, Ukhti Zulfa, Layyin, Hanif dan Ana pada ulang tahun-ku ke 20 kali ini. Usia 20 yang dulu ku nanti dan beberapa hari lalu sempat membuatku ngeri, kini tak lagi membebani hatiku. Saat mereka yang ada bersamaku, aku nggak yakin apakah aku butuh lebih dari semua ini...




Tidak ada komentar: