Kamis, 29 November 2007

Anjani

Anjani berjalan pelan merunut trotoar jalan raya. lalu lalang mobil dan para pejalan kaki yang bergegas berlawanan darinya, tak mengganggunya. Anjani hanya berjalan pelan, terus lurus tanpa memandang kearah depan. Yang ia tahu, ia hanya ingin berjalan. Sebenarnya, kalau saja tidak mengingat rasa malu yang ada didirinya, juga rasa malu pada Tuhannya, ia pasti sudah membalikkan badan dan berlari menemui Syauqi, menanyakan kepastian akan perasaannya. Anjani hanya ingin tahu, adakah dia sendirian? atau Syauqi merasakan hal yang sama? namun keindahan ajaran agamanya membelenggunya dalam sangkar suci yang melindunginya dari hal-hal hina. Toh, jika memang adanya Syauqi adalah memang untuk melengkapi hidup Anjani, maka diujung waktu nanti, pun mereka akan bertemu meski waktu dan jarak mengurung mereka pada ruang yang berlawanan. Anjani mendongakkan kepalanya menatap kedepan. Menghembuskan kegundahannya lewat nafas beratnya. Secercah asa menggodanya saat matanya berhenti pada halte bus yang terlihat sepi didepan sana. Halte, dimana Anjani, Syauqi dan teman-teman lain pernah berada. Dulu, saat mereka hendak pergi ke suatu tempat, mereka memutuskan untuk naik bus umum. Hanya sekedar ingin merasakan nikmatnya sebuah kesengsaraan. Dulu, Anjani dan Syauqi hanya mampu terdiam. Memangnya apa yg bisa mereka bicarakan? Bukan jarak tempat duduk yang membuat mereka bisu. Namun, begitulah agama mereka mengajari, untuk menahan apa yang ada dihati. Kemudia mengungkapkannya, nanti, saat waktunya tiba. Waktu yang tepat...
Anjani mendekati halte bus itu. Malu-malu, dia duduk tepat disebelah tempat dimana Syauqi dulu pernah duduk. Masih terdiam, masih membisu, seperti dulu. Kebisuan yang seakan berbicara tentang banyak hal. Anjani mengayun-ayunkan kakinya sambil mendongak berbisik pada langit. Pipi Anjani memerah saat benar-benar tersadar dengan apa yang dilakukannya saat ini. "Aku kebanyakan nonton film nih kayaknya," gumamnya pada angin. Biasanya, saat sedang rindu dan tidak bisa bertemu, sang pelaku utama akan mendatangi tempat dimana ia dan kekasihnya biasa bertemu. "Kekasih"? hah, Anjani saja masih menyimpan kebimbangan dalam hatinya. Belum sah rasanya memanggil Syauqi sebagai kekasihnya. Tapi tak apalah. Toh tidak ada yang tahu. eh? "Biasa bertemu"? bertemu dengan Syauqi saja jarang-jarang. Kalau bukan untuk kepentingan orang banyak, Anjani maupun Syauqi tidak akan berani bertemu tanpa alasan, begitu agama menjaga keindahan sebuah hubungan lawan jenis. Itupun tidk hanya berdua-duaan saja. Yah.. dan begitulah.
Anjani kembali memandangi bangku kosong disebelahnya, bangku dimana Syauqi dulu pernah duduk disana. Mengalihkan pandangannya dari langit pada mobil yang berlalu lalang, angkuh, mengejar urusan mereka masing-masing tanpa memedulikan Anjani yang masih saja mendekap kebimbangannya. Dingin membuat Anjani meraih syal hijaunya kemudian melingkarkannya ke leher. Sedikit terusik, Anjani membenahi letak duduknya. Namun ia masih tak ingin meninggalkan tempat itu. Karena cara yang dipikirnya terlalu kekanak-kanakan itu ternyata terasa begitu nyaman dan mampu mendamaikan hatinya. Angin kembali mengusiknya, memain-mainkan jilbab yang menutupi mahkota indah yang terjaga dibaliknya. Anjani kembali menghembuskan resah hatinya dan berniat melepaskan kebimbangan yang sedari tadi didekapnya.
Sebuah penantian, akan suatu waktu, dimana semua tak akan lagi membawa kebimbangan. Yang ada hanya damai, sebuah kepastian, bahu yang terbuka lebar saat ia butuh sandaran, jemari yang menggenggam saat ia butuh uluran tangan, punggung yang hangat saat ia ingin menangis...
Bisikan angin memberitahu Anjani akan wangi khas mentari yang beranjak pergi. Anjani berdiri dari duduknya, bersama waktu yang menemaninya dalam penantian. Sedang Anjani pun menyadari bahwa Syauqi tak lama lagi akan pergi, meninggalkan Anjani atau membawanya serta. Seperti sore yang hanya mampu terdiam menatap mentari yang membisu, menghilang pergi...



Winter, Halte, 16:40

Tidak ada komentar: