Minggu, 16 Desember 2007

Biarkan Arin, Izinkan Dia

Arin mendekap erat foto ditangannya. Berharap tak ada seorangpun yang menemukannya kemudian meminta foto itu darinya. Dan yang paling ditakutinya adalah jika yang meminta adalah bagian lain dari dirinya sendiri.
"Buang foto itu" sisi hatinya mengancam. Hanya mata yang terus berkaca-kaca saja yang tampak menjawab. Arin menatap kearah langit lazuardi yang begitu indah bagi mereka yang sedang berbahagia hatinya. Namun keindahan itu seakan mengejeknya tentang betapa malang nasibnya. Ia mengalihkan foto itu dari dekapan kebelakang punggungnya. Tetap saja, suara-suara dalam hatinya mengetahuinya, memaksanya membakar saja foto itu. Betapapun ia telah memiliki banyak salinan satu-satunya foto yang ia miliki itu didalam hatinya, keinginan untuk menyimpan foto itu tetap saja kuat mengikatnya.
"Kamu nggak bisa terus seperti ini,"
"Bisa. Aku bisa..."
"Adalah sebuah ketidakmungkinan membohongiku. Sedang aku adalah dirimu."
"Kalau kau adalah aku, kenapa tak memahamiku? kenapa tak membiarkanku seperti ini saja. Cukup seperti ini," beberapa orang yang menghabiskan waktu istirahatnya memandang aneh kearah Arin yang sesekali terdiam lama, kemudian tiba-tiba bergumam. Sendirian.
"Sudah Rin. Sampai kapan kau akan tetap bertahan? jiwamu lelah dengan perasaan bodohmu itu. Lihat saja. Dari tadi airmatamu hanya menggenang dipelupuk mata, tidak pernah menetes. Tidak lagi mampu menetes. Seakan kehabisan kekuatan untuk menetes, kekurangan cairan airmata untuk bergulir menuruni pipimu. Bangun RIN!" Plak!!! wajah Arin tertunduk oleh tamparannya sendiri. Namun itu tak cukup menyadarkannya. Sisa dari sebuah perasaan yang dianggapnya hanyalah "sisa" ternyata memberinya banyak kegilaan. Kegilaan bertahan dengan semua keadaan, semua perih, semua tangisan, demi sebentuk senyum dibibir seseorang yang dihormatinya. Ya, mungkin ini bukan cinta atau entah apalah. Arin sendiri tak paham apa namanya. Menurutmu, jika seseorang yang tiba-tiba membuatmu membeku tanpa berani menatap matanya, seseorang yang membuatmu berani mendongak dan menantang pedih, seseorang yang memberimu banyak kekuatan untuk bertahan pada luka yang kau gores sendiri, seseorang yang membuatu begitu menghormatinya, apa itu yang namanya cinta? Jika iya, sepertinya Arin sedang jatuh cinta, sejak bertahun-tahun yang lalu. Hingga sekarang pun Arin masih ingin menganggap dirinya sedang jatuh cinta. Andai saja ia masih diperbolehkan menganggap dirinya seperti itu. Jika saja diperbolehkan...
Masih di tempat yang sama, Arin memandang sekelilingnya yang mulai ramai. Riuh yang tercipta oleh banyak penggalan kenangan yang kini telah keluar dari otaknya, berteriak-teriak kearahnya. Dunianya sekarang memang bukan dunia dimana terdapat beberapa kenangan bersama seseorang didalam foto yang masih dipegangnya hati-hati, enggan merusaknya. Namun ternyata kenangan-kenangan itu kini malah berloncatan keluar dari dalam jiwanya. Arin melihat salinan dirinya. Satunya mengenakan baju seragam sekolah, satunya lagi mengenakan terusan hijau toska dengan gagang telephon yang didekatkan pada telinganya. Terlihat sembunyi-bunyi berbicara pada orang diseberang sana, takut pembicaraan mereka didengar oleh orang lain. Dan hal itu berjalan untuk waktu yang cukup lama. Sedangkan yang lain malah terlihat duduk bersedih disampingnya.
Sebentar kemudian bayangan-bayangan Arin tak lagi sendirian. Muncul seseorang diantara mereka, kemunculan yang membuat semuanya berhenti sesaat. Alih-alih bayangan itu pun kemudian menjadi banyak, sebanyak halusinasi Arin tentang berapa banyak bayangan-bayangan dirinya yang berlompatan dari otaknya.
Perlahan semua tokoh dalam kenangan itu bermunculan. Tapi tetap saja, Arin dan bayangan sosok seseorang didalam foto itu yang menjadi pemeran utama dalam cerita. Namun ada satu duplikat dari seseorang didalam foto itu yang terlihat menatap Arin lekat dari arah kejauhan sambil mendekap lututnya. Arin tidak mengerti kenapa ia tidak bergabung dengan yang lain dan memerankan ulang sebuah kenangan. Arin juga tidak pernah ingat bahwa ia pernah memiliki kenangan seperti itu. Seumur-umur, tidak pernah ia dilihat dengan tatapan seperti itu, selekat itu olehnya. Arin bertanya pada keheranannya, lantas kenapa otaknya menggambar sebuah fase seperti saat ini? Arin tidak berani memandang kearah mata itu, tidak pernah berani.
Bayangan itu kini beranjak dari duduknya. Berjalan pelan melewati semua keriuhan yang muncul dari kenangan-kenangan disekelilingnya. Arin memalingkan arah pandangnya, menyadari bayangan itu sekarang menujunya. Arin tak ingin memperlihatkan matanya yang berkaca-kaca, Arin tak ingin membuatnya hawatir dengan airmata itu. Bukankah selama ini Arin selalu tampak ceria didepannya? kecuali satu kali, saat Arin hendak meninggalkan dunianya yang dulu menuju dunianya yang sekarang, ia terpaksa memperdengarkan isakan pada seseorang yang bayangannya kini berada semakin dekat darinya. Waktu itu, hatinya tak lagi bisa berbohong untuk kesekian kali bahwa seringnya yang selama ini dikatakan oleh senyum dibibirnya adalah sebuah kebohongan.
Jantung Arin berdetak tak normal saat bayangan sosok dari dalam foto ditangannya telah tepat berjongkok disampingnya. Arin membuang wajahnya kearah berlawanan dari sudut bayangan itu menatap. Mulutnya terkatup rapat menyembunyikan isak. Sebuah sentuhan dapat Arin rasakan dipundaknya.
"Aku mungkin bukan orang yang paling mengerti dirimu. Tapi aku merasai pedihmu". Airmata itu ahirnya bergulir! airmata itu menuruni pipi! airmata yang sedari tadi hanya sebuah genangan dipelupuk mata kini mengalir! dan itu melegakan Arin. Sedari tadi dia memang ingin menangis, hanya ingin menangis. Sosok itu yang selama ini membuat Arin selalu tersenyum. Tapi dia tidak pernah memedulikan bahwa ternyata sosok yang sama pulalah yang mampu membuatnya menangis. Arin berbalik menatap kearah bayangan itu kini. Isaknya mulai terdengar. Ia tersentak saat melihat bayangan itu menatap bukan kearahnya. Seperti tak memiliki objek pandangan, mata itu bergerak-gerak kekanan dan kekiri sambil mengulas sebentuk senyum.
"Kenapa? kaget? aku memang tak lagi memiliki cahaya dalam mataku," Airmata Arin semakin menderas. Ia menggerak-gerakkan tangannya tepat didepan mata milik bayangan itu, mata yang tampak tetap setajam dulu. Namun seakan yang terlihat oleh mata itu hanyalah gelap. Kornea matanya tak merespon perubahan cahaya dan gerakan disekitarnya. Masih tanpa objek pandangan, bayangan itu menunggu dalam gelap matanya. Isak itu menjadi raungan saat sosok bayangan dari seseorang didalam foto itu menoleh kearah dimana Arin menjentikan jari, memberinya sebuah suara.
"Meski yang kumiliki kini bukanlah yang kumiliki dahulu, yakinku akan keberadaanmu membantuku menemukanmu. Aku merasaimu". Arin menjangkau lengan sosok itu kemudian melingkarkan kelehernya.
"Maafkan aku, harusnya cukup aku saja yang kehilanganmu, cahaya mataku." tubuhnya berguncang hebat oleh rasa yang berebut keluar lewat airmatanya.
Beberapa lama ia menangis, sejak langit masih lazuardi hingga senja menggantikan tugasnya memayungi bumi. Bayangan itu meraba pipi Arin yang basah. Ia menyentuh dagu Arin kemudian mendongakkannya, meminta Arin menatap kearahnya.
"Kamu tidak akan menangis lagi bukan?"
Arin meraih kedua telapak tangan sosok bayangan itu dan meletakkannya pada kedua sisi kepalanya dan menggeleng kuat. Lalu sebuah kelegaan tergambar pada sebentuk senyum atas jawaban yang dirasai oleh Sang tangan.
Satu persatu keramaian para kenangan disekelilingnya mulai memudar kemudian menghilang. Arin dibuat panik dengan apa yang terjadi. Karena kini ia baru benar-benar tahu bahwa ia tak ingin kehilangan semua itu.
"Jangan, jangan pergi. Tetaplah bersamaku..." kalutnya. Semua kenangan itu menoleh, menatap kearah permintaan Arin. Namun semua telah bersepakat untuk meninggalkan Arin sendirian. Bergantian, mereka menghilang dengan menyisakan sebuah senyuman, seperti ingin memberinya sebuah kekuatan. Sosok bayangan dari seseorang yang ada didalam foto yang dibawa Arin pun mulai memudar. Arin ketakutan. Ia mendekap tangan itu berharap ia tak kan pegi kemana-mana. Namun tangan itu kini telah tak tersentuh. Tak lagi terasai sepeti tadi.
"Berjanji padaku, tak akan menceritakan pertemuan kali ini pada siapapun,"
Airmata Arin bergulir lagi.
"Karena tak ada seorangpun yang mampu mengerti apa yang kita rasakan. Karena hati kita pun tak mampu menemukan kata-kata untuk menceritakan pada orang lain tentang apa yang dirasainya,"lanjut bayangan itu. Arin cepat-cepat menganggukkan kepalanya, takut waktunya tak cukup untuk berkata lebih dari sekedar sebuah anggukan. Dan bayangan itu pun menghilang. Begitu saja. Tanpa sebuah senyuman seperti bayangan-bayangan yang lain saat meninggalkannya. Pun tak terlihat kesedihan yang menghias wajahnya saat terpaksa meninggalkan Arin. Jangan-jangan Arin yang tak lagi mampu menangkap raut wajahnya yang telah benar-benar memudar dan tak terlihat?
Sekarang tak ada lagi orang-orang yang menatap aneh kearahnya. Sudah dari tadi mereka tak disana. Mereka telah kembali ketempat paling nyaman dimana mereka menemukan banyak cinta. Bergegas, takut-takut kalau malam akan menelan semua cinta itu kemudian menyembunyikannya dalam pekat. Sedang Arin masih ditempat yang sama, kini dipeluk sepi. Sebuah suara dari dalam hatinya berbisik, "Arin, berikan foto itu padaku... jika kau tidak cukup memiliki banyak kekuatan untuk menghanguskannya, biarkan aku yang melakukannya"
"Jangan.. tolong jangan meminta foto ini. Kamu boleh memintaku berkata apa saja, melakukan apa saja, bertingkah apa saja, memerankan karakter siapa saja, tapi jangan memintaku memberikan foto ini," pandangannya memudar oleh airmata yang memenuhi pelupuk matanya.
"Arin..." suara itu masih merayunya
"Nggak! Aku janji aku akan terus memakai topeng dengan wajah tersenyum itu. Kalau perlu, aku tidak akan pernah melepasnya. Itu akan membakar hawatirmu, jika kau takut aku tak akan lagi tersenyum"
"Kenapa? kenapa kau harus sekeraskepala ini?"
"Sssttt... tidak boleh. Sssst... kau tidak boleh menanyakan itu. Karena aku tidak akan memberitahumu. Karena tak ada seorangpun yang mampu mengerti apa yang kami rasakan. Karena hati kami pun tak mampu menemukan kata-kata untuk menceritakan pada orang lain tentang apa yang dirasainya."
"Meskipun padaku? bukankah aku adalah bagian dari dirimu?"tanya hatinya
"Sssshhh..." Arin meletakkan jari telunjuk menutupi sebagian mulutnya, "Kamu nggak boleh tahu..."

Sepi menggelayut pada angin yang membawanya. Menebarkan senyap pada hati yang sedang menyendiri. Juga pada Arin yang membungkam isaknya pada lengan yang menyilang mendekap lututnya. Arin sendirian dalam ceracaunya,
"Kamu tidak boleh tahu kenapa, kalian tidak bisa paham mengapa..."



Untuk: sebuah ucapan bertuliskan "Terimakasih"

Tidak ada komentar: